Korinthus

“Cinta itu sabar…”. Perempuan itu mendengar. Di gedung yang tak dihuni itu, di bawah bulan yang nyaris seperti limau, seseorang datang membacakan surat-surat itu sepotong-sepotong: lembar-lembar di sampul kulit yang sumbing dan berdaki.
Ada yang mengatakan seorang Suriah telah membawanya melewati gurun. Tapi perempuan itu lebih senang membayangkan seekor sphinx yang terbang karena ia menyukai mimpi.
Tiga hadirin lain sedikit gugup. Ia mencoba mengingat-ingat wajah penulis yang pernah singgah itu — ia disebut “rasul” – dan memang ada seorang pembuat tenda dengan tunik lengan pendek yang dulu menginap di antara puing yang tersisa di Korinthus. Tapi kini hanya terasa kembali apa yang terpercik dari kata-kata si tua: harapan itu dalam namun jauh.
Lewat tengah malam, seekor kucing berjalan melintasi peristilium, seperti bayangan abu-abu, tapi lentur, nyaris tak terlihat, mungkin ia dewa yang terusir. Di sisi yang agak gelap dari beranda si pendatang meneruskan baris berikutnya: “Cinta tak irihati…”. Suara itu, dengan logat awak kapal, sedikit bergetar, sedikit asing. Atau mungkin hanya karena angin.
Di luar: jalanan kota tidur. Tak sengaja. Bukit di utara seakan-akan canggung menunggu fajar, dan kini perempuan itu menyimak gema yang terhimpun di teluk dari ombak yang bersungut. “Cinta tak menyombongkan diri”, kalimat berikutnya dibacakan, dan ia ingat sebuah sajak tentang camar yang menghilang, entah kenapa.
Berdiri di antara dua tiang yang gumpil, ia, yang merasakan malam tambah dingin, mengetatkan syalnya pada pundak. Seorang lelaki lain kini mengambil lembar-lembar itu dari si pendatang dan ia melihat sejumlah kalimat yang nyaris terhapus: “Cinta menanggungkan segalanya, percaya segalanya”. Ia membacanya keras-keras seakan-akan ada yang harus dikatakan kepada tanah genting yang kosong itu.

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Sapardi Djoko Damono

Kenangan Dunia

Terbuat dari apakah kenangan...
Harapan
  Impian 
    Cita-cita
       Keberhasilan
         Putus asa
            Kegagalan 
Sebuah perjalanan tiada henti
Atau...
Ini menjadi sebuah dunia yang sempurna

Ada yang bilang manusia diciptakan dari debu. Kenapa dari debu?  Aku ini diciptakan, karenanya tidak punya hak untuk mempertanyakan yang bukan-bukan. Setiap manusia harus punya masa lalu. Tetapi apakah debu itu masa lalu? Kalau debu itu tak dianggap sebagai masa lalu, ini artinya aku tidak akan bisa punya masa depan. Dan mungkin sekali debu itu jugalah masa depan ku.

Korinthus

“Cinta itu sabar…” . Perempuan itu mendengar. Di gedung yang tak dihuni itu, di bawah bulan yang nyaris seperti limau, seseorang datang m...